Sabtu, 22 November 2025

 


Diagram Alur Siklus Hidup Produk (Mi Instan)

2. Narasi Analisis

Alasan Pemilihan Produk

Mi instan dipilih sebagai objek analisis karena merupakan salah satu makanan kemasan paling populer di Indonesia dengan konsumsi mencapai 12,64 miliar bungkus per tahun, menjadikan Indonesia konsumen mi instan terbesar kedua di dunia. Produk ini sangat relevan dengan isu keberlanjutan karena beberapa alasan krusial: pertama, produksi massal yang menciptakan jejak lingkungan signifikan; kedua, kemasan multi-layer yang sulit didaur ulang; ketiga, ketergantungan pada minyak sawit yang terkait dengan deforestasi; dan keempat, limbah kemasan plastik yang berkontribusi pada krisis sampah plastik nasional. Dengan penetrasi pasar yang sangat luas—dari perkotaan hingga pedesaan—dampak kumulatif produk ini terhadap lingkungan menjadi sangat substansial dan memerlukan perhatian serius.

Batas Sistem Analisis

Analisis ini menggunakan pendekatan cradle-to-grave yang mencakup seluruh siklus hidup dari ekstraksi bahan baku hingga disposal akhir. Batas sistem meliputi: produksi bahan baku pertanian (gandum, minyak sawit), manufaktur kemasan (plastik, aluminium foil, kardus), proses produksi mi instan, distribusi dan transportasi hingga 500 km, fase konsumsi termasuk energi memasak, dan pengelolaan limbah kemasan. Yang tidak termasuk dalam analisis adalah infrastruktur permanen seperti bangunan pabrik dan toko retail, peralatan dapur konsumen (kompor, panci), serta dampak sosial-ekonomi terhadap petani dan pekerja. Asumsi utama yang digunakan: satu unit analisis adalah satu bungkus mi instan 85 gram dengan masa simpan 6-8 bulan, tingkat daur ulang kemasan 15%, dan skenario disposal mayoritas ke TPA (70%).

Identifikasi Dampak Lingkungan per Tahap

Fase Ekstraksi Bahan Baku memiliki dampak signifikan terutama dari produksi minyak sawit dan pertanian gandum. Perkebunan kelapa sawit berkontribusi pada deforestasi dan kehilangan keanekaragaman hayati, dengan emisi karbon dari konversi lahan mencapai 15-20 ton CO₂e per hektar. Pertanian gandum mengkonsumsi air irigasi sekitar 1.300 liter per kilogram tepung dan menggunakan pupuk nitrogen yang menghasilkan emisi N₂O (gas rumah kaca 300 kali lebih kuat dari CO₂). Produksi kemasan plastik dari bahan petrokimia menghasilkan 6 kg CO₂e per kg plastik polypropylene.

Fase Produksi adalah tahap paling intensif energi, khususnya proses penggorengan mi yang memerlukan suhu tinggi (140-160°C) dan mengkonsumsi sekitar 0,15-0,20 kWh energi per bungkus. Penggunaan minyak goreng dalam jumlah besar (sekitar 20% dari berat mi) menambah jejak lingkungan, ditambah emisi Volatile Organic Compounds (VOC) dari proses frying. Konsumsi air untuk mixing dan cleaning mencapai 3-5 liter per bungkus produk. Total emisi fase produksi diperkirakan 150-200 gram CO₂e per bungkus.

Fase Distribusi berkontribusi pada emisi transportasi, terutama jika menggunakan truk diesel dengan emisi 62 gram CO₂ per ton-km. Untuk jarak distribusi rata-rata 500 km, satu bungkus mi menghasilkan sekitar 5-8 gram CO₂e dari transportasi. Penyimpanan di gudang dan retail dengan pendingin ruangan menambah konsumsi energi, meskipun relatif kecil per unit produk.

Fase Konsumsi sering diabaikan namun signifikan. Memasak mi instan memerlukan 400 ml air mendidih, mengkonsumsi 0,04-0,05 kWh energi (setara 40-50 gram CO₂e jika menggunakan listrik dari PLTU). Pencucian peralatan menambah penggunaan air 1-2 liter dan energi pemanas air. Dengan miliaran porsi dikonsumsi setiap tahun, dampak kumulatifnya sangat besar.

Fase Pengelolaan Limbah adalah yang paling problematis. Kemasan mi instan terdiri dari tiga layer berbeda (plastik metallic, polypropylene, dan kadang PE) yang hampir tidak mungkin dipisahkan untuk daur ulang. Sachet bumbu aluminium-plastik juga tidak ekonomis untuk didaur ulang. Dengan tingkat daur ulang hanya 15%, sebagian besar berakhir di TPA (70%), menghasilkan gas metana dan leachate beracun. Sekitar 5% bocor ke lingkungan, berkontribusi pada pencemaran mikroplastik di sungai dan laut.

Refleksi Redesain untuk Keberlanjutan

Beberapa strategi dapat diterapkan untuk mengurangi dampak lingkungan: pertama, mengganti kemasan multi-layer dengan mono-material yang dapat didaur ulang seperti kertas berlapis biodegradable atau plastik berbasis bio. Kedua, mengembangkan mi kering tanpa digoreng (air-dried atau steam-dried) yang mengurangi konsumsi energi dan minyak hingga 80%. Ketiga, menggunakan minyak sawit bersertifikat RSPO atau beralih ke alternatif seperti minyak kanola. Keempat, mengimplementasikan sistem refill untuk bumbu agar mengurangi sachet sekali pakai. Kelima, produsen dapat menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR) dengan program take-back kemasan. Dari sisi konsumen, kesadaran untuk memisahkan dan mendaur ulang kemasan dengan benar sangat krusial, begitu juga dengan memilih produk dari brand yang berkomitmen pada keberlanjutan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Desain Produk dengan Prinsip DfE

  Botol Shampo TRESemme 940 ml Keterangan Detail Produk Produk Diamati Botol Shampoo Cair (Kemasan Standar) Fungsi Utama Wadah penyimpanan d...